野村誠の作曲日記

作曲家の日記です。ちなみに、野村誠のホームページは、こちらhttp://www.makotonomura.net/

新聞試しに訳してみました

インドネシア語なので、誤訳も多いと思うので、インドネシア語の分かる方、添削など大歓迎ですので、どうかよろしくお願いします。

試訳1)

ジョグジャ日報(2011年4月13日水曜日) 

「日本―ジョグジャ 4演目上演」

Tri Wahyu Utami(ジョグジャ日報)

ジョグジャ:4月11日の夜、日本の数人のアーティストとジョグジャのアーティストのコラボレーションが、ジョグジャカルタ文化会館の野外劇場で4演目を上演した。この公演は、友人間のコミュニケーションのずれを描いていた。

 最初の演目では、この公演のために東京から来た2人の日本人アーティストが登場した。一人はダンサー山下彩子で、もう一人は俳優の千田美智子だ。一見、二人は友達のように見える、しかし、突然、彼女達の身体の動きを通して、お互い敵対し始めるのだ。
彩子と美智子は、素朴な服装で、活発に動く。時々、お互いの頬を引っぱたき、ステージを転がり、本当に転び、痛がるのだ。演目は、「 De’ Ke’ ngka!?」。音楽は、日本出身で国立芸大ジョグジャ校伝統音楽学科の大学生のやぶくみこのクンダン(太鼓)の演奏だった。
 続いての演目は、野村誠が「Bisa Apa Saja(何でもできる)」というタイトルで行った。この作曲家は、鍵盤ハーモニカを持って一人で登場した。チューブで鍵盤ハーモニカを吹きながら、指は鍵盤上をしなやかに動き、誠はあちこちに魅力的に歩き回る。
これらに負けずに魅力的だったのが、日本とジョグジャの共演だ。彩子、美智子、 Jemek Supardi、Suwarto、Ki Mujar Sangkertaが上演し、音楽は、Subowo、Haryanto Talianto、くみこ、誠が演奏した。
このコラボレーションは、1週間フルに使って準備された。段取りのない交友が描かれ、時々、互いに可愛がり、しかし、自然に反目し合ったりするのだ。
公演の最後は、自由な即興で終わった。それには、全ての出演者が参加し、さらには、Kuncung、Iwan、Uti、かおりも加わった。チーフプロデューサーの Eko Nuryodono は「コンセプト的には、事前に計画してはいなかった。これは、少し前に日本の津波の被害者のために起こした友情のアクションから継続してきているのです。」と語った。
Ekoによれば、日本とジョグジャの交友を続けないのでは、もったいない。お互いの言葉を理解しなくとも、彼らは身体の動きで会話をすることができる。そのことが、この公演の着想となった。「奇妙なことに、彼らはつながっていくのです。」とEkoは微笑んだ。
(言葉を介さずにコミュニケートできる)にも関わらず、くみこは、この公演は、お互いの意図を理解しない友達間のミスコミュニケーションを描いたと意見する。が、彼らは一つになってつながっていく。「見た目はつながっているようですが、多くの問題や論争が、彼らの間にある」と、この28歳の女性は明らかにした。
くみこの説明によれば、彩子と美智子の二人のアーティストは、非常に有名な東京のアーティストで、1週間のジョグジャの滞在で作品を制作するというミッションを持って来ていた。彼女達は、わざわざ、ジョグジャで学習中のくみこと一緒に練習するために来たのだった。「私がまだ勉強しているので、彼女達がジョグジャに来たのです」くみこは説明した。
予定では、この演劇公演は2011年9月に東京でのフェスティバルで演じられる。「後には、私一人でガムラン音楽を演奏するでしょう。本当のことろ、少々困難はありますが、 ここ(ジョグジャ)では、お互いに気を配り合う、 特別な雰囲気があるのです。だから、私は、ここで学び続けることに惹かれるのです。」インドネシア政府からここ4ヶ月間奨学金を得ている大学生は語った。

原文

Harian Jogja
Rabu Legi 13 April 2011

Jepang-Jogja
pentas 4 repertoar

Oleh Tri Wahyu Utami (Harian Jogja)

Jogja:

Sejumlah seniman Jepang berkolaborasi dengan seniman Jogja menampilkan empat reportoar di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, Senin (11/4) malam. Pentas ini menggambarkan miscommunication antar sahabat.

Reportoar pertama ditampilkan dua seniman Jepang yang khusus dating dari Tokyo untuk pentas ini. Mereka adalah Ayako Yamashita seorang penari dan Michiko Chida seniman teater. Sekila keduanya tampak seperti sahabat, tetapi mendadak menjadi lawan yang saling memusuhi lewat gerak tubuh mereka.

Ayako dan Michiko berbusana sederhana, bergerak lincah. Kadang saling menampar pipi lawannya. Mereka berguling di punggung, benar-benar jatuh dan kesakitan. Pentas yang diberi tajuk De’ Ke’ ngka!? Ini diiringi musik kendang dimainkan Kumiko Yabu, seorang mahasiswa jurusan Karawitan, Institut Seni Indonesia Jogja asal Jepang.

Reportoar selanjutnya datang dari Makoto Nomura dengan judul Bisa Apa Saja. Kali ini komposer tersebut tampil sendiri dengan pianikanya. Sambil meniup selang pianika dan melentikan jari jemari di tuts, Makoto berjalan ke sana ke mari dengan atraktif.

Tak kalah menariknya, sebuah kolaborasi Jepang-Jogja yang melibatkan seniman Ayako, Michiko, Jemek Supardi, Suwarto dan Ki Mujar Sangkerta. Sementara pemusiknya, Subowo, Haryanto Talianto, Kumiko dan Makoto.


Kolaborasi ini disiapkan seminggu penuh. Menggabarkan pertemanan yang tidak beraturan, kadang saling menyayangi tetapi dengan spontan bermusuhan.

Pentas pun diakhiri dengan improvisasi lepas dari semua seniman termasuk Kuncung, Iwan, Uti, Kaori dan semua seniman yang terlibat. “Secara konsep memang tidak direncanakan, ini adalah tindak lanjut aksi solidaritas untuk korban tsunami Jepang beberapa waktu lalu” ucap pimpinan produksi, Eko Nuryodono.

Menurut Eko, sayang apabila pertemanan Jepan-Jogja tidak diteruskan. Meski tak saling memahami bahasa masing-masing, mereka mampu berdialog dengan gerak tubuh. Itulah yang akhirnya menjadi ide pementasan ini. “Anehnya mereka itu nyambung” lanjut Eko tersenyum.

Sementara itu, Kumiko berpendapat pentas ini adalah sebuah gambaran miscommunication di mana para sahabat tidak memahami apa yang dismaksud, tetapi tetap dalam satu kesatuan. “Kelihatannya nyambung, tapi banyak masalah dan polemik diantara mereka,” ungkap perempuan berusia 28 tahun ini.

Kumiko menerangkan, dua seniman Ayako dan Michiko merupakan seniman asal Tokyo yang cukup ternama. Keduanya memiliki misi kesenian selama satu minggu di Jogja. Keduanya sengaja mencari Kumiko yang tengah studi di Jogja untuk berlatih teater bersama. “Karena saya masih belajar, mereka yang ke Jogja”, jelas Kumiko.

Rencananya, pentas teater tersebut akan dihelat September 2011 di Tokyo. “Saya sendiri nanti akan bermain musik gamelan, sebenarnya agak kesulitan tapi ada atmosfir khusus untuk saling menjaga di sini(Jogja) sehingga saya tertarik untuk terus mempelajarinya”, kata mahasiswa yang mendapat dharmasiswa dari pemerintah Indonesia selama empat bulan ini.

試訳2
Suara Kedu
2011年4月13日(水)

インドネシアー日本 アーティスト共演
仕切りを取り除き、友好がより緊密に


 ジョグジャカルタ文化会館の野外劇場で月曜日(4月11日)に行われたインドネシアと日本のアーティストのコラボレーションは、芸術は、様々な境界を超える最も効力のある言葉であることを実証した。つまり、地理的な距離も、民族の違いも、宗教さえも超えてしまえるのだ。
 ただ単に違った文化背景であるだけでなく、この夜に提示された作品は、ダンス、音楽、演劇、文学、美術のコラボレーションでもあった。
最初に提示された演目は、「De’Ke’ngka!?」というタイトルで、ダンサーの山下彩子と、俳優の千田美智子により上演された。また、音楽は、国立芸術大学ジョグジャ校伝統音楽科で学んでいる音楽家やぶくみこにより演奏された。
多方面に訓練を受けた演者に合わせ、この演目は、様々なニュアンスを提示している。身体の動きが大部分だが、完全にダンスというわけではない。つまり、近代演劇のドラマトゥルギの原理も、この演目には非常に見られた。例えば、演出のコンセプトやパフォーマーから発せられる会話などに。
この非常に魅力的な演目の独自性は、音楽がジャワのクンダン(太鼓)だけで伴奏される時、より際立った。くみこは自分自身を信じ、パーカッションをソロ楽器として演奏した。パフォーマーのリズムに制約なく自由に合わせることができるし、パフォーマンスの雰囲気を強めることもできるからだ。
「De’Ke’ngka!?」という演目は、より正確に言えば、このダンスシアターは、 概して、コミュニケーションに関するエピソードを提示しようとしている。時に、非常に親しそうな動きから、一種の喧嘩に変わっていったり、その逆に、喧嘩のような様子から、親しくなったりした。
「これは、コミュニケーションです。人間同士のコミュニケーションが完璧にスムーズにいくことはあり得ません。なぜなら、時に誤解が生じるからです。この演目で二人の関係が親しいのか、喧嘩しているのかは、観客の理解に委ねられるのです。」と9月に日本でも上演される演目について、くみこは語った。
2番目に登場したのは、音楽家野村誠の作品「Bisa Apa Saja(何でもできる)」だ。鍵盤ハーモニカを持ったこの痩せた男性は、鍵盤ハーモニカをクラシックからコンテンポラリーまで様々な様式で探求する。それどころか、鍵盤を太ももの間に挟んだり、腕の裏にはさみ、さらにはチューブをはずして演奏までした。「何でもできる(Bisa apa saja)、何でもできる、何でもできる」と誠が訛りのあるインドネシア語で歌っていたのも、音楽はどんな方法でも演奏できることを説得しているようでもあった。
3番目に上演されたのは、「日本とジョグジャのコラボレーション」と題された演目で、パントマイム俳優Jemek Supardi,、Suwarto、千田美智子、山下彩子によって演じられた。また音楽は、Y Suboso,、Haryanto Taliwangsaが、くみこと誠と共演した。公演は、全出演者が参加する「自由な即興」で幕を閉じた。ステージでのコラボレーションでは、お互いを尊重しようと心がけているように見えた。
 ここでは、話の筋は重要ではない。なぜなら、 遊ぶ(演じる)リズムを形成し続けるために、お互いに自分自身を開き、空間と対話しているからだ。世界に多様な人間がいる中で、友好を深めるために、このような精神を立ち上げることこそが必要にされているように見えた。
チーフ・プロデューサーのEko Nuryonoによれば、「この活動は、先日の日本の地震津波を文化芸術で支援するため、インドネシアと日本のアーティストがジョグジャでコミュニケートするところから始まっています。コミュニケーションは、このしたプロセスで立ち上がり、ついには心地よい感覚にいたり、アートのコラボレーションのイベントの中で、続けられていくのです。」
「明らかに、彼らには楽しむという感覚があります。そして、コラボレートのアイディアが続いていくのです。もし、芸術が交友関係を深めるならば、その人が誰であろうと、宗教が何であろうと、民族が何であろうと、政治思想が違おうと、芸術の中で一つになることができる、ということを、我々は見てとることができるのです。」とEko Nuryonoは述べた。

(Sony Wibisono)

原文
Suara Kedu
Rabu
13 April 2011

Kolaborasi Seniman Indonesia-Jepang
Membongkar Sekat, Mempererat Persaudaraan

Kolaborasi seniman Indonesia-Jepang di Amphi Teater Taman Budaya Yogyakarta, Senin (11/4) membuktikan bahwa seni menjadi bahasa yang paling ampuh untuk membongkar sekat-sekat geografis, etnis, maupun agama.

Tidak hanya latar belakang kebudayaan yang berbeda saja, malam itu karya-karya yang disajikan juga mengkolaborasikan seni tari, musik, teater, sastra dan seni rupa.

Sajian pertama menampilkan repertoar berjual De’Ke’ngka!?. Repertoar ini dimainkan oleh seniman tari Ayako Yamashita dan seniman teater Michiko Chida. Sementara ilustrasi musik dimainkan oleh seniman musik yang belajar karawitan di ISI Yogyakarta, Kumiko Yabu.

Sesuai dengan para pendukung yang multidisiplin, repertoar ini pun akhirnya memberikan nuansa yang beragam. Meski didominasioleh grak tubuh, namun belum tidak sepenuhnya bisa disebut tari. Pasalnya, prinsip-prinsip dramaturgi teater modern pun sangat terlihat pada repertoar ini, misalnya pada kosep blocking dan dialog-dialog verbal yang dilontarkan para pemain.

Lebih unik lagi ketika repertoar yang sangat atraktif itu hanya diiringi dengan kendang Jawa. Kepercayaan diri Kumiko memperlakukan perkusi sebagai alat pengiring tunggal, menjadikannya leluasa untuk mengikuti ritme permainan dan memperkuat suasana pertunjukan.

Secara umum repertoar De’Ke’ngka!? Yang lebih tepat disebut teater-tari ini berusaha memberikan wacana tentang kominikasi. Wacana ini disajikan melalui gerak dua pemain yang saling merespons. Adakalanya gerakan-gerakan yang terlihat sangat akrab itu berubah menjadi semacam perkelahian. Begitu juga sebaliknya.

“Ini adalah komunikasi. Dalam komunikasi sesama manusia, tidak sepenuhnya berjalan lancar, karena kadang juga ada misskomunikasi. Apakah yang terjadi dalam pementasan ini hubungan yang akrab atau perkelahian itu terserah pada pemahaman penonton, “ kata Kumiko tentang repertoar yang juga akan dimainkan di Jepang September mendatang itu.

Sementara itu pada pada penampilan kedua, seniman musik Makoto Nomura menampilkan karya Bisa Apa Saja. Dengan pianikanya, pria beperawakan kurus itu mengeskploasi pianika dengan gaya klasik hingga kontemporer. Tidak hanya itu, makoto bahkan memencet tuts pianika diantara lipatan pahanya, dengan punggung lengan, hingga melepas selang pianika.

“Bisa apa saja, bisa apa saja, bisa apa saja” begitu nyanyian Makoto dengan bahasa Indonesia yang kagok, seolah menyakinkan bahwa musik bisa dimainkan dengan cara apa saja.

Pada penampilan ketiga yang diberi judul Kolaborasi Jepang-Jogja dimainkan oleh aktor pantomim Jemek Supardi, Suwarto, Michiko Chida dan Ayako Yamashita. Sedangkan pemusik Y Suboso, Haryanto Taliwangsa, berkolaborasi dengan Kumiko dan Makoto. Pertunjukan ditutup dengan Improvisasi lepas yang melibatlan semuan seniman yang mengisi acara malam itu. Pada panggung kolaborasi inilah terlihat adanya upaya saling menghargai.

Alur cerita menjadi tidak penting, karena mereka lebih terlihat berusaha saling membuka diri, memberi dan menerima ruang, untuk tetap membentuk ritme permainan. Tampaknya spirit semacam inilah yang perlu terus dibangun untuk mempererat persaudaraan dalam keragaman manusia di dunia.

Menurut Pimpinan Produksi Eko Nuryono, kegiatan ini berawal dari komunikasi para seniman Indonesia-Jepang yang mengadakan kegiatan penggalangan dana yang dikemas dalam seni budaya bagi gempa, dan tsunami Jepang di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Komunikasi yang dibangun selama proses tersebut akhirnya memberikan rasa nyaman dan dilanjutkan dalam acara koraborasi seni.”

“Ternyata mereka merasa enjoy, dan akhirnya berlanjut pada gagasan untuk membuat kolaborasi. Dari sini kita bisa melihat jika seni juga mempererat hubungan persaudaraan itu. Siapapun orangnya, apapun agamanya, apapun etnisnya, apapun orientasinya bersatu dalam seni,” ujar. Eko Nuryono.

(Sony Wibisono)